Sosok Seorang Auki
Penetapan Auki Tekege Sebagai Tokoh Gereja oleh Uskup Timika Mgr Jhon P Saklil Pr. (Foto Ilustrasi/MK) |
Disini kami angkat dan
mementaskan drama kami IPMANAPANDODE Bandung adalah sejarah hidup sosok Auki
Tekege yang dengan gigihnya telah berhasil membawah masuk agama Kristen di
Paniai dengan damai. Auki sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak
tokoh yang telah membuka pagar Allah
yang di buat secara bertatap di tanah Papua.
Berikut Pementasan Drama kami
yang berthema; Injil Masuk di Daerah Meeuwodide yang di kutib di buku “Herman Tillemans Awee Pitoo”.
(Herman
Tillemans dan Auki Tekege pada tahun 1932-1936)
Peran
dan Tokoh Dalam Drama
Ada beberapa keluarga hidup di
suatu tempat, Sebut saja di modio. Mereka adalah:
Keluarga 1.
Keluarga..........................................2. Keluarga..................................................3.
Keluarga..............................................................4. Keluarga..................................................5.
Keluarga..............................................................6.
Keluarga..................................................7.
Anak bungsu dari keluarga pertama
adalah Bedoubainawi, Ia disebut Bedoubainawi karena semasa muda Bedoubainawi mempunyai hobby berburu
burung. Ia selalu mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung
yang dikoleksi adalah Burung Cenderasih.
Bedoubainawi
mengoleksi burung cenderawasih
Bedoubainawi rupanya
mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderasih itu. Ia
sering kali berjanji kepada masyarakat sekitarnya bahwa pada suatu saat ia akan
menghadirkan Dunia Modern.
Artinya: Janji Bedoubainawi kepada
masyarakatnya; Kemaa komaa anii Ogaimakiyo kiemeyawitaa kokaoo
Kini, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerahnya Modio. daerah yang ia
lalui adalah daerah Isago-doko (diantara
mapia dengan kokonao). Di asago Ia bertemu dan berkenalan dengan seorang
pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Bedoubainawi
mulai berkenalan dengan Ikoko Nokuwo
Bedoubainawi
bersama Ikoko sudah lama di
isago-doko. Pada suatu hari Bedoubainawi pergi di pantai selatan
lalu Bedoubainawi berkenalan dengan kepala suku Kamoro. Keesokan harinya ia
kembali ke isago doko.
Beberapa minggu kemudian Bedoubainawi pergi berjualan hasil bumi
seperti, Ubii, Burung Cenderawsih,
tembakau dan hasil bumi lainnya kepada kepala suku Kamoro di Pantai Selatan
tepatnya di Kokonao.
dan diganti dengan kulit bia “Mege” adalah Alat pembayaran, sambil
latihan bahasa kamoro kepada kepala suku kamoro tersebut.
Hari
demi hari Bedoubainawi mulai belajar
bahasa kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi
sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio.
Namun beberapa tahun kemudian ia
kembali ke kampung Modio tanpa membawa sesuatu apapun. Kedatangan Bedoubainawi tidak di senangi
masyarakat Modio yang di tinggalkan bertahun-tahun itu.
Orang-orang
Modio bertanya kepada Bedoubaunawi
Dimana Ogai-makiyo (Dunia Modern)” yang dari dulu kau janji itu?
Tanya masyarakat modio kepada Bedoubainawi
sambil memakii dan memarai kepadanya.
Akhirnya masyarakat modio memberi
dan memanggil dirinya TAPEHAUGI yang
artinya “Orang yang tidak beruntung”.
Pada waktu itu hampir seluruh
daerah Modio terjadi perang. Perang itu terjadi antar marga dan antar kampung
akibat Pencurian, persinahan yang
berbuntut pada pembunuhan, yang sifatnya melanggar hukum TOTAMANAA. Sistim sangsi hukumpun tak berlaku, hanya nyawa ganti
nyawa.
Perang
Antar Marga dan Kampung
Tapehaugi
hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup
aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Totamana dan Kabomana.
Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi
rekannya Ikoko Nokuwo di daerah
isago.
Tapehaugi
bersama istrinya Kesaimaga Gobay,
mulai berjalan dari kampung bermalam di bidau
lalu mereka bertemu Ikoko Nokuwo di
daerah Isago.
Semalam
dalam perjalanan.
Lalu beberapa hari kemudian Tapehaugi bersama istrinya lanjut
perjalanan menuju Kampung Dawudi. dan
malam berikutnya mereka sampai dikampung Wigikunu.
Di
kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian, Tapehaugi bersama Ikoko Nokuwo setelah Ikoko
Nokuwo mengunjungi Tapehaugi pergi
berjualan hasil bumi kepada kepala suku Kamoro di pantai selatan (Kokonao) untuk ditukarkan dengan hasil
bumi dari pantai.
Sampai
di kokonao mereka berdua masuk dirumah kepala suka Kamoro itu.
Pada malam harinya kepala suku kamoro menceritakan tentang
orang-orang barat (Misionaris) yang
sedang mewartakan Injil di daerah kokonau.
Tapehaugi
sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para Misionaris tersebut. Namun, Kepala suku tidak menceritakan
keberadaan para misionaris itu.
Tapehaugi mengetahui maksud hati kepala suku kamoro.
Dan kemudian Tapehaugi berjanjian bahwa: setelah 3 bulan kemudian Tapehaugi akan membawa hasil buruan dan
makanan.
Janji
Tapehaugi itu diterima baik oleh
kepala suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi membawa 40 ekor burung
cenderawasih (Tune mepia) yang sudah
dikeringkan sebelumnya, ditambah Ubi dan tembakau.
Kepala suku kamoropun sudah
mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu
(Maumi) dan hasil laut lain
sesuai perjanjian sebelumnya.
Setelah pertukaran barang
selesai, Kepala suku kamoro berjanji
akan membawa para Misionaris untuk perkenalkan
dengan Maihora di Wigikunu
Maihora
itu adalah (Panggilan orang kamoro kepada
Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari, sementara Tapehaugi sedang membuat kebun,
tiba-tiba istri Kesaimaga memanggilnya
dengan nada yang terkejut.
Hey,
Orang tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, Mari jemput
mereka.Tapehaugipun bergegas menjemput mereka.
Sesampai dirumah ia
berkenalan dengan orang-orang berkulit
putih termasuk kepala suku Kamoro. Orang-orang berkulit putih tersebut Persis
seperti anak yang baru lahir.
Kepala suku kamoro berkata kepada Tapehaugi:
Maihoga, Inilah orang-orang yang mewartawan kabar gembira.
Maka mereka saling berkenalan
satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain, Pater Tillemans Msc dan dr. Bijmler.
(Pada waktu itu tepat bulan April
1932).
Tapehaugi
menceritakan, Banyak orang seperti saya
yang sedang mendiami di balik gunung sana. Saya minta supaya kabar Injil diwartawan
kepada rakyat saya, Ungkap Tapehaugi
berharap.
Pater
Tillemans berjanji setelah 3 (tiga) tahun kemudian dirinya akan datang mengunjungi di balik
gunung tepatnya di modio.
Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga
kembali ke Modio tinggalkan Wigikunu.
Dalam perjalanan pulang Tapehaugi mendapat Nama baru dari
seorang malaikat di gunung Makabike.
Nama yang di berikan adalah AUKI
artinya Laki-laki yang hebat. dalam
nada keheranan.
Sesampai di modio, Auki menceritakan seluruh perjalanannya
ke kokonao termasuk nama yang baru di berikan dari Malaikat itu.
Orang yang turut mendengarkan
cerita Auki adalah: Menasaitawi Tatogo, Megetaibi Kedeitoko,
Dekeugi Makai.
Tiga tahun kemudian, rombongan Pater Tillemans tiba di Modio setelah 5
hari dalam perjalanan. Pada waktu itu, Ikoko
Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan.
Mereka disambut dengan Tupe/Wani
dan di potong 2 (dua) ekor babi
sebagai pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi
Tatogo dan Dakeugi Makai untuk
memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada di seluruh
pedalaman Paniai.
Sepuluh hari kemudian, para Tonawi dari berbagai daerah tiba dengan
membawa 2 ekor babi untuk pesta perdamaian (Tapa Dei/ Kamuu taii).
13
orang dari berbagai daerah Meeuwodide turut hadir dalam pesta perdamaian
tersebut.
Mereka yang turut hadir antara
lain:
Zoalkiki
Zonggonao dan Kigimo Zonggonao dari Migani,
Gobai
Pouga Gobai dari Paniai,
Itani
Mote dan Timada
Badii dari Tigi,
Papa
Goo dari Kamuu,
Tomaigai
Degei dari Degeiwo,
Pisasainawi
Magai dari Piyakebo,
Dekeigai
Degei Dari Putapa,
Enagobi
Gobai dari Pogiano,
Tubasawi
Tebai dari Toubay,
Mote
Pouga Mote dari Adauwo, dan
Dakeugi
Makai dari Piyaiye.
(Pada tanggal 07 Januari 1936)
Pater
Tillemans memimpin misa Kudus dan membuka Injil diatas
batu di depan rumah Auki. Itulah
misa pemberkatan pertama.
Setelah misa pemberkatannya, dilanjutkan dengan doa perdamaian (Tapa Dei/Kamu Taii) yang dipimpin oleh Auki.
Setelah misa pemberkatannya, dilanjutkan dengan doa perdamaian (Tapa Dei/Kamu Taii) yang dipimpin oleh Auki.
Dalam doa inti, Auki meminta Minesaitawi Tatogo dan Dakeugi
Makai untuk membunuh dua ekor babi Putih
dan Hitam (Yegekina dan Bunakina). yang telah di persiapkan sebelumnya.
Ketika membunuh Babi Hitam (Bunakina) Minesaitawi berkata:
Akii
mogaitaitage Mee (Bagi yang akan berbuat Zinah),
Akii
omanaitage Mee
(Bagi yang akan mencuri),
Akii
pogogoutage Mee (Bagi yang akan membunuh),
Akii
mee ewegaitage Mee (Bagi yang akan menceritakan orang lain)
Akii
puya mana wegaitagee Mee
(Bagi yang
akan menipu orang)
Kou
ekinadani koudani kategaine.
Artinya: Saya samakan kamu yang
akan melanggar ajaran- ajaran TOTAMANA
dengan babi yang saya bunuh ini agar tidak terulang lagi.
Selanjutnya Dakehaugi Makai membunuh babi putih (Yegee Ekinaa) yang sudah diikat di pohon Otikai. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otikai dan
mengeluarkan darah merah bertanda persembahan diterima. Lalu nyanyikan (Wani/Tupee)
Setelah Upacara perdamaian
selesai, rombongan Pater Tillemanspun kembali ke kokonao.
Inilah Pementasan Drama dari kami
IPMANAPANDODE Bandung, yang berthema; Injil Masuk di Daerah Meeuwodide yang dikutib
Buku Herman Tillemans Awee Pitoo,
Penulis: Fransiskus Bobii, S.AP (Herman Tillemans dan Auki Tekege pada tahun
1932-1936)
Sekian dan Terima kasih (Koyao,
Koya, Kosa, Bidao)
Pengutip: Mateus Tekege
Tidak ada komentar