Aliansi Mahasiswa Papua |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Masa kini menjadi sesuatu yang
menarik membahas konsep revolusioner, karena berkaitan erat dengan
konsep perkembangan, perubahan, dan berkelanjutan dalam ilmu sejarah
yang mengonstruksi realitas sosial dan penjalanan hidup.
Di sini saya akan membahas bagaimana konsep revolusioner akhirnya
menjadi sebuah gerakan yang membangun sebuah peradaban. Sang
revolusioner berarti individu atau suatu kelompok yang memegang teguh
nilai-nilai manusiawi tanpa penindasan oleh para penindas. Sang
revolusioner juga adalah orang yang mementingkan sisi dialog bagi
konstruksi dunia yang lebih baik.
Sifat revolusioner yang keluar dari hakikatnya, yakni revolusioner yang
merasa dirinya adalah peramu realitas sosial, yang memainkan
simbol-simbol kosong demi sebuah kekuasaan.
Lalu pertanyaanya, bagaimana sifat revolusi yang digerakan oleh sang revolusioner dalam konteks Papua ?
Bisa dikatakan ini adalah masa membangun identitas nasional bagaimana
sebuah wilayah yang luas, etnis, ras, dan agama yang multikultural
disatukan oleh para revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan asing
yakni pemerintah kolonial Indonesia. Fase ini bisa dikatakan sang
revolusioner menjalankan hakikatnya sebagai pejuang sejati tanpa sesuatu
untuk membujuk materialistik.
Bagimana sifat revolusioner pada masa ini? Menurut saya meninjau dari
kacamata Paulo Freire sebenarnya sudah baik bahkan fase ini diibaratkan
menaikkan lagi level hakikat dari revolusioner itu sendiri. Sekarang
kemana warga Negara bisa menyampaikan aspirasi, apa yang dirasakannya,
pengalamannya, keluhanya dan seterusnya. Jika dapat disampaikan lewat
media sosial, itu merupakan kemajuan besar
Bagaimana kemudian hakikat sifat revolusioner itu bermuara. Ke tangga
kekuasaankah atau sebagai jalan pembebasan fikiran serta tindakan yang
berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa?
Saya tentu harus mengatakannya, itu tergantung kepada dinamika sosial
elite penguasa serta rakyat umum. Keduanya harus memainkan
strategimemeriksa dan menyeimbangkan.
Kehidupan terjangkit oleh budaya yang sakit niscaya akan menghasilkan
keluaran kehidupan yang sakit pula. Kesadaran fikiran tentang
kemanusiaan itu sendiri adalah pangkalnya, kemudian dia harus
mengarahkanya pada kebijakan bangsa untuk menciptakan sebuah masyarakat
yang hidup bebas diatas tanahnya sendiri.
Dasar dari kepemimpinan otentik adalah kebebasan di dalam diri. Dengan
kebebasan di dalam diri ini, orang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang
ada di sekitarnya, lalu membuat keputusan-keputusan yang terkait dengan
hidupnya.
Kebebasan bukan berarti, orang bisa berbuat seenaknya. Kebebasan berarti
orang bisa mengambil jarak dari dunia sekitarnya, lalu hidup sesuai
keputusannya. Kepemimpinan revolusioner juga harus datang dari kebebasan
personal untuk menggerakan seluruh masyarakat yang sedang dalam tekanan
militerisme
Pemimpin revolusioner bukanlah kepemimpinan yang reaksioner, melainkan
kepemimpinan yang berwatak solutif, mampu melihat akar persoalan untuk
kemudian mencari solusinya. Siap adalah kata kunci.
Karena kesiapan dalam perubahan pada dasarnya menuntut fleksibilitas,
inovasi dan tanggapan dari seorang revolusioner yang memiliki visi
besar bersama- sama dalam organisasi kiri untuk membebaskan Bangsa
secara totalitas. (FP/KM)
*) Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Jawa Barat
Tidak ada komentar